Terlepas dari tradisi lisan masyarakat,sintren
saat ini merupakan salah satu jenis pertunjukan tari tradisional. Pengertian tari
itu sendiri merupakan sebuah peristiwa atau ekspresi masyarakat yang memiliki berbagai
fungsi. Tidak hanya sebagai upacara ritual tetapi juga sebagai peristiwa
sosial dan kultural. Dari waktu ke
waktu tari mengalami perubahan, baik dari segi teknik, bentuk, maupun fungsi.
Keberadaan tari di Jawa Barat sudah dikenal sejak masa kerajaan tradisional.
Ada tiga pendapat mengenai asal usul
nama sintren. Pertama, kata sintren berasal dari bahasa Belanda yaitu sinyo trenen,
si- nyo berarti muda sedangkan trenen adalah berlatih. Jadi, sintren adalah
kesenian tempat pemuda berlatih (Galba (peny.), 2004:106; Kasim, 2013: 225).
Kedua, sintren berasal dari kata sinatrian. Kata sinatrian atau sinatria atau ksatria
ini merupakan repre sentasi dari seluruh unsur dalam pertunjukan ini mulai dari
tari, busana, tembang, hingga makna yang terkandung di dalam pertunjukan ini.
Maknanya pada saat itu adalah sikap seorang ksatria dalam meng-hadapi
musuh-musuhnya (Kasim, 2013: 225). Ketiga, kata sintren dari bunyinya berhubungan
dengan kata tranta, yang kemungkinan besar dari kata stuti tantra yang artinya
nyanyian tantra. Tantra ini sering dipraktikkan dalam agama Hindu maupun Budha.
Dalam ritual ini tujuan dasarnya sama seperti sintren yaitu penyatuan antara manusia
dan energi dewa yang dipujanya. Penyatuan itu terjadi pada saat trance atau di
bawah alam sadar (Kasim, 2013: 223).
Sintren juga sering disebut dengan lais.
Perbedaannya adalah pada jenis kelamin penari. Jika penarinya adalah seorang perempuan
maka disebut sintren, tapi jika penarinya lelaki maka disebut lais. Perbedaan lain
antara sintren dan lais adalah terdapat pada kekhususan lagu yang mengiringinya
(Dahuri dkk, 2004: 135). Di Indramayu sintren sering disebut juga Ronggeng
buyung karena adanya penggunaan buyung/juru/klenting. Pendapat lain menyatakan
bahwa
buyung sendiri artinya anak,
sehingga sintren di Indramayu yang penarinya adalah anak-anak sering disebut Ronggeng
buyung (Galba (peny.), 2004: 106-107).
Pada masa pemerintahan Daendles yang
mengusung semangat larung ia memberikan izin adanya Sekolah Ronggeng di Cirebon
yang berada di bawah perlindungan Sultan Cirebon. Ronggeng kadang diartikan
sebagai hal positif namun kadang diartikan sebagi hal negatif. Dalam hal
positif ronggeng merupakan suatu
profesi yang menuntut sebuah bakat yang istimewa. Terkadang dalam menghadapi
kekejaman kolonial, ronggeng menjadi sebuah media untuk menyampaikan pesan agar
tidak diketahui oleh pihak kolonial. Dengan cara penonton yang ingin mengirimkan
pesan bisa melemparkan sapu tangan berisi pesan sambil memberi ronggeng
tersebut uang. Setelah pesan itu
diterima, maka ronggeng itu akan menyampaikannya pada orang yang dimaksud.
Dalam hal negatif ronggeng ini kadang terdiri atas pelacur yang ingin menambah
penghasilan dengan menyanyi dan menari pada
Hal menarik lainnya mengenai sintren
di Indramayu adalah penggunaan waditra buyung. Di Indramayu sendiri pada tahun 1945
dikenal sebuah kesenian Tarling yang salah satu alat musik petiknya bernama goong
buyung. Kesenian ini muncul dari sebuah kebiasaan para pemuda bermain gitar
melantunkan lagu-lagu klasik Dermayonan. Suara gitar yang dipadukan dengan suling
menjadi sesuatu yang berbeda dan unik.
Kesenian ini muncul dari sebuah
kebiasaan para pemuda bermain gitar melantunkan lagu-lagu klasik Dermayonan.
Suara gitar yang dipadukan dengan suling menjadi sesuatu yang berbeda dan unik.
Kelompok musik yang terkenal pada tahun 1950-an bernama Melodi Kota Ayu yang
didirikan oleh Djajana dkk. Alat musik petik yang mereka gunakan adalah gitar,
suling, kendang, dan alat musik yang juga digunakan dalam Ronggeng Buyung di Indramayu,
yaitu goong buyung (Lubis dkk, 2015: 429).
Pertunjukkan Sintren diadakan ditempat yang
luas, biasanya hanya menggunakan alas tikar/karpet. Tidak ada batas yang jelas
antara penonton dan pemain Sintren, ini yang menjadi sebab kesenian ini
terlihat merakyat sekali. Tabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukkan
ini sangat sederhana, hanya terdiri dari bambu betung (bambu besar) dan kendi
yang keduanya dibunyikan dengan cara dipukul lubangnya menggunakan karet dari
sandal ditambah kemeriahan bunyi kecrek. Bunyi tetabuhan ini pulalah yang
digunakan untuk mengumpulkan penonton diawal pertunjukkan. Seorang penari
Sintren akan didudukan ditengah arena pertunjukkan, lalu kedua tangannya diikat
dibelakang dengan kuat menggunakan saputangan, dihadapannya diletakkan
seperangkat pakaian Sintren (biasanya kebaya ditambah sejenis rompi), alat make
up dan aksessoris kepala, tidak lupa kacamata hitam.
Perlu diketahui,
untuk menjadi seorang penari Sintren syaratnya sang gadis harus masih
perawan, dan ini tidak boleh dilanggar sebab kalo dilanggar gadis tersebut akan
gila (penulis belum pernah melihat buktinya sampai sekarang). Setelah penari
didudukkan, tubuhnya akan ditutup menggunakan kurungan yang biasa digunakan
untuk mengurung ayam tetapi agak lebih besar sedikit. Lalu tembang yang
mengandung mantra mulai dinyanyikan: Solasi solandana Menyan putih ngundang
dewa Ana dewa dening sukma Widadari temuruna Tembang mantra diatas dilantunkan
berulang-ulang, dan akan dihentikan jika kurungan yang menutup tubuh penari
Sintren bergerak-gerak, ini menunjukkan bidadari yang diundang sudah masuk
dalam tubuh sang penari, dan dibuktikan dengan bergantinya pakaian penari
Sintren dari baju biasa menjadi menggunakan baju Sintren dengan aksessoris yang
terpakai lengkap plus make up di wajahnya. Aneh bin ajaib, itu yang ada
dalam benak saya ketika itu. Bayangkan dalam ruangan kecil, gelap dan
terikat, seorang wanita dapat berganti pakaian dan bermake-up layaknya dalam
kamar rias yang luas dan terang. Sang penari Sintren ini kemudian akan mulai
menari dalam keadaan tidak sadar, tidak ada pakem tarian yang jelas, kadang
malah terlihat kaku dan monoton. Saat penari Sintren ini mulai menari-nari
pertunjukkan akan dilanjutkan dengan acara 'balangan' yaitu melempar kain atau
sarung ke tubuh Sintren, dimana disalah satu ujung kain akan disimpan uang yang
berfungsi sebagai sawer (imbalan). Sintren yang terkena balangan kain akan
terjatuh, adegan ini akan menimbulkan tawa atau bahkan jeritan dari penonton
kalau sang dayang yang mengiringi penari Sintren terlambat/tidak dapat menahan
tubuh sang penari.
Penari Sintren akan dapat dibangunkan kembali (masih
kondisi tidak sadar) dan melajutkan menari dengan cara diusapkan asap dari dupa
yang dibakar selama pertunjukkan berlangsung. Jatuh bangunnya Sintren
akibat balangan dan frekuensi balangan yang sering, menjadi keasyikan
tersendiri dalam menikmati tontonan Sintren ini. Lamanya pertunjukkan Sintren
bervariasi, kurang lebih 3-4 jam.
Pertunjukkan ini akan berakhir kalau dalang Sintren
mulai mengalunkan tembang. godong kilaras Ditandur tengahe alas Paman bibi aja
maras Dalang lais jaluk waras Awalnya saya mengira pertunjukkan Sintren berasal
dari Indramayu, tetapi setelah saya telusuri di Internet, sejarah Sintren yang
kuat justru menunjukkan kalau kesenian ini berasal dari Jawa Tengah tepatnya
Pekalongan. Tetapi ada persamaan yang bisa ditarik secara psikologis,
kesenian ini menunjukkan bentuk ekspresi kebebasan atau menolak
batasan-batasan, tetapi tidak berani secara terang-terangan menolak batasan
tersebut karena adanya ketakutan terhadap penguasa saat itu. Tarian Sintren
yang tanpa pakem dan dilakukan tanpa sadar (sehingga terlihat 'bisu') menunjukkan
keinginan untuk bebas tetapi tidak mampu/berani terungkapkan. Sejarah
Sintren versi Pekalongan menuliskan Sintren berasal dari cerita hubungan cinta
yang tidak direstui antara Sulasih dan R. Sulandono yang merupakan anak seorang
Bupati di Pekalongan.Sejarah ini menunjukkan adanya pengekangan dalam
menjalin hubungan dua anak manusia. Tulisan ini hanya buah pikir dari seorang
guru yang baru belajar menulis, berharap hasil tulisannya bermanfaat dan dapat
menjadi ajang untuk saling bertukar ilmu dan informasi.
0 Komentar