Asal mula lahirnya sintren sendiri adalah sebenarnya
sebagai permainan dikala petang kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah
menunggu suami/ayah mereka pulang sebagai nelayan mencari ikan di laut.
Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah
menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Namun pada
perkembangannya kesenian ini kemudian dijadikan sebagai objek mencari nafkah
untuk oleh sebagian masyarakat waktu yang tidak pergi melaut untuk menjadi
seniman. Mereka berkeliling kampung mementaskan kesenian ini dengan mengandalkan
saweran dari para penonton.
Bentuk Pakem Pertunjukan tari Sintren:
Ø Pra Pertunjukan
Saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton.
Ø Dupan
Acara berdoa bersama-sama diiringi dengan membakar
kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Ø Membentuk (menjadikan) sintren.
Ø Tahapan menjadikan sintren dilakukan
oleh Pawang yang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat)
orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh)
sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam
keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera
menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Kesenian
sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan
penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.
Kesenian Sintren bukan hanya sekedar permainan dikala
petang untuk menunggu para nelayan. Sintren kini menjadi kesenian yang digawangi
oleh beberapa awak yang terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi
dengan beberapa gamelan seperti buyung sejenis gentong yang terbuat dari tanah
liat sebagai alat musik pukul, rebana, dan waditra lainnya seperti kendang,
gong, dan kecrek dan tentu saja pemain sintren itu sendiri. Sebagai permulaan
dari pertunjukan Sintren, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang para penonton.
Syairnya lagunya seperti ini menggunakan bahasa Indramayu :
”Tambak tambak pawon
Syairnya lagunya seperti ini menggunakan bahasa Indramayu :
”Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
Artinya :
“Tambak-tambak dapur
Isinya dandang kukusan
Kalau ada kebul-kebul yang nonton pada kumpul”
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton
benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Setelah para
penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair lagu berikut yang
menjadi ciri khas kesenian Sintren :
“Turun sintrén, sintréné widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kang manjing ning awak ira
Turun-turun sintrén
Sintrené widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kembang katés gandul”
Di tengah-tengah juru kawih melantunkan syair lagu
diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Yang konon haruslah seorang
gadis, karena kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka
pertunjukan dianggap kurang pas. Kemudian sintren diikat dengan tali tambang
mulai dari leher hingga kaki, sehingga secara logika, tidak mungkin Sintren
dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukkan ke
dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup oleh kain, setelah sebelumnya
diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut
sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul.
Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
“Gulung gulung kasa
“Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-bur
Ana sintren masih baru”
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam
keadaan tidur atau tidak sadar. Namun begitu kurungan dibuka, anehnya sang
sintren telah berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam.
Penari sintren sendiri lebih mirip
orang yang ditinggalkan rohnya karena walaupun menari tetapi dalam keadaan
tidak sadar. Dan disinilah uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari,
para penonton akan melemparkan uang logam atau sarung ke tubuh sang penari.
Ketika uang logam itu mengenai tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan
dan baru akan bangun kembali setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang.
Setelah itu penari sintren pun akan meneruskan kembali tariannya dan akan jatuh
pingsan lagi ketika ada uang logam yang menenai tubuhnya Konon, ketika menari
tersebut, penari sintren ini keraksukan roh.
Sumber :
0 Komentar