Kesenian Sintren dari Pesisir Indramayu Cirebon


          
           Sintren adalah salah satu kesenian rakyat pesisir, tepatnya di sekitar jalur pantura (Pantai Utara) antara Indramayu dan Cirebon. Kesenian ini konon mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari kata apa, namun menurut berbagai sumber asal kata "Sintren" merupakan gabungan dua suku kata "Si" dan "tren". Si dalam bahasa Jawa berarti "ia" atau "dia" dan "tren" berarti "tri" atau panggilan dari kata "putri" (Sugiarto, 1989:15). Sehingga Sintren adalah "Si putri" yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.

Asal mula lahirnya sintren sendiri adalah sebenarnya sebagai permainan dikala petang kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang sebagai nelayan mencari ikan di laut. Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Namun pada perkembangannya kesenian ini kemudian dijadikan sebagai objek mencari nafkah untuk oleh sebagian masyarakat waktu yang tidak pergi melaut untuk menjadi seniman. Mereka berkeliling kampung mementaskan kesenian ini dengan mengandalkan saweran dari para penonton.
Bentuk Pakem Pertunjukan tari Sintren:
Ø  Pra Pertunjukan
Saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton.
Ø  Dupan
Acara berdoa bersama-sama diiringi dengan membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Ø  Membentuk (menjadikan) sintren.
Ø  Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang yang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Kesenian sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.            
Kesenian Sintren bukan hanya sekedar permainan dikala petang untuk menunggu para nelayan. Sintren kini menjadi kesenian yang digawangi oleh beberapa awak yang terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung sejenis gentong yang terbuat dari tanah liat sebagai alat musik pukul, rebana, dan waditra lainnya seperti kendang, gong, dan kecrek dan tentu saja pemain sintren itu sendiri. Sebagai permulaan dari pertunjukan Sintren, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang para penonton.
Syairnya lagunya seperti ini menggunakan bahasa Indramayu :
”Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”

Artinya :
“Tambak-tambak dapur
Isinya dandang kukusan
Kalau ada kebul-kebul yang nonton pada kumpul”
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Setelah para penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair lagu berikut yang menjadi ciri khas kesenian Sintren :
“Turun sintrén, sintréné widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kang manjing ning awak ira
Turun-turun sintrén
Sintrené widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembangé si Jaya Indra
Widadari temurunan
Kembang katés gandul”

Di tengah-tengah juru kawih melantunkan syair lagu diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Yang konon haruslah seorang gadis, karena kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas. Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai dari leher hingga kaki, sehingga secara logika, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukkan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup oleh kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
“Gulung gulung kasa
 Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-bur
Ana sintren masih baru”

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur atau tidak sadar. Namun begitu kurungan dibuka, anehnya sang sintren telah berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam.


Penari sintren sendiri lebih mirip orang yang ditinggalkan rohnya karena walaupun menari tetapi dalam keadaan tidak sadar. Dan disinilah uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari, para penonton akan melemparkan uang logam atau sarung ke tubuh sang penari. Ketika uang logam itu mengenai tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan dan baru akan bangun kembali setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang. Setelah itu penari sintren pun akan meneruskan kembali tariannya dan akan jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam yang menenai tubuhnya Konon, ketika menari tersebut, penari sintren ini keraksukan roh.

Sumber :


0 Komentar