Kesenian Sintren
berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso
Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari
yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang
putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu
dari Ki Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih
menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus
berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut
diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada
saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk
menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari
pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut
dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). sintren jg
mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya
yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika
ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yg khas.
Dalam pertunjukan
sintren diperlukan pemain yang bertugas sebagai: kemladang (pawang), pembantu
kemladang, penari sintren, dua orang bodor, juru kawi (pesinden), pengrawit
yang jumlahnya lebih dari 5 orang. Peran kemladang cukup penting sebagai
penghubung antara penari sintren dengan roh. Tugas berat yang dipikul kemladang
menjadikan sebelumnya ia melakukan ritual puasa. Syarat menjadi penari sintren
harus masih perawan.
Adapun perlengkapan pementasan yang
dibutuhkan berupa: kembang sesaji, kemenyan, tempat dupa, stagen, kaca mata
hitam, sampur , hiasan kembang melati yang dironce, perhiasan, kain, kebaya,
sanggul, dan kurungan yang diselubungi kain hitam. Pakaian bodor berupa ikat
kepala, pakaian, celana komprang, sarung, dan sabuk.
Ada beberapa lagu wajib dalam mengiringi pertunjukan
sintren yaitu: turun sintren, solasih, uwak-uwak bango, bayem ceprol, dan
kacang dawa.
Contoh lagu:
Turun Sintren Bayem Ceprol Solasih Turun-turun sintren, sintrene widadari
Bayem-bayem ceprol Solasih solasih solanjana Nemu kembang neng ayunan Disebar
tengahing bokor Menyan pangundang dewa Kembange si jaya indra Paman bibi aja
ngobrol Ya dewa manjing sukma Kamajaya kamaratu Ana sintren luruh bodor
Widadari temuruna Ratune widadari, ngranjing maring dadi
Urutan pementasan
sintren sebagai berikut:
1.Penari sintren dan kemladang mempersiapkan diri
dekat kurunagn ayam yang ditutup kain hitam.
2.Penari sintren membawa busana yang terlipat rapi
dan dimasukan dalam kurungan.
3.Kemladang mempersiapkan dupa yang terdiri dari
kemenyan serta sesaji yang berupa kembang setaman sembari membacakan mantera
mengundang roh bidadari. Bersamaan dengan kemladang yang membakar dupa
kemenyan.
4.Kemladang membaca mantera untuk mengundang roh
bidadari, juru kawi dan pengiring mengiringi dengan syair lagu turun sintren.
5.Kemladang menuju kurungan ayam, yang didalamnya
sudah ada penari perempuan, sambil mendengarkan bisikan sintren. Ketika penari
meminta lagu pada kemladang menjadi penanda bahwa penari sudah menjadi sintren.
6.Lagu permintaan diumumkan, bersamaan dengan lagu
dimainkan, kurungan dibuka.
7.Sintren sudah berpakaian lengkap, kemudian menari
sesuai dengan lagu permintaannya. Sintren akan berhenti menari ketika lagu
berhenti, ketika lagu diperdengarkan akan menari lagi.
8. Juru kawi mendendangkan lagu bayem ceprol,
menandakan sintren membutuhkan penari bodor.
9.Bodor berinteraksi dengan penonton, penonton
tertawa gembira. Penonton bisa nyawer pada sintren dengan bantuan kemladang
yang mengedarkan nampan saweran.
10.Permainan diulang sesuai arahan kemlandang sampai
waktu cukup, sehingga akhirnya penari dimasukan ke kurungan kembali untuk
disadarkan.
Kesenian
Sintren Terlupakan dan Terabaikan
Kesenian
Sintren merupakan salah satu kesenian tradisional yang sekarang ini sudah
hampir terlupakan dan terabaikan. Oleh karena itu keberadaannya senantiasa
harus kita jaga dan lestarikan; salah satu upayanya yaitu pengenalan kesenian
tradisional yang harus dilakukan sejak dini kepada generasi muda bangsa yang
majemuk ini. Bukan hanya pelestarian, kita juga harus bisa melakukan
pengembangan-pengembangan terhadap kesenian tradisional seperti Sintren, yang
dapat dilakukan dengan berbagai aktifitas dan bantuan dari berbagai pihak
supaya kesenian Sintren ini akan tetap dan masih diminati oleh semua lapisan
masyarakat. Sintren merupakan kesenian rakyat yang telah mengakar di pesisir
utara Jawa, setidaktidaknya mulai dari Cirebon sampai wilayah Brebes dan
Pemalang, bahkan mungkin sampai wilayah-wilayah Kendal hingga Pati dan Blora.
Ada beberapa pengertian tentang sintren. Ada yang menafsirkan bahwa sintren
berasal dari kata sesantrian, yang artinya meniru perilaku dan cara berpakaian
santri. Ada pula yang menafsirkan sintren itu berasal dari kata sintru, yang
artinya angker. Apapun pengertian dari sintren, kesenian ini memang unik,
bahkan kalau bisa dibilang penuh unsur magis di dalamnya, namun tetap memesona.
Kelompok kesenian sintren terdiri dari seorang juru kawih atau sinden, seorang
penari sebagai tokoh sentral, yang diiringi oleh beberapa pemain musik gamelan,
alat musik pukul menyerupai gentong, rebana, gendang, gong, dan kecrek. Sebelum
pertunjukan dimulai, seorang sinden menyanyikan sebuah tembang yang dimaksudkan
untuk memanggil para penonton agar segera berkumpul. Sinden biasanya menembang
sebanyak dua tembang: pertama dimaksudkan untuk mengundang penonton, dan
berikutnya bertujuan memanggil seorang pemain sintren keluar. Syair tembang
yang pertama berbunyi sebagai berikut: Tambak tambak pawon/Isine dandang
kukusan/Ari kebul-kebul/wong nontone pada kumpul. Sedangkan syair tembang yang
kedua berbunyi: Kembang trate/Dituku disebrang kana/Kartini dirante/Kang
ngrante aran mang rana. Unsur magis dalam pertunjukan sintren terlihat dengan
adanya juru sintren yang bertugas memanggil bidadari. Bidadari ini kemudian
merasuk ke dalam raga pesintren. Pemain sintren diharuskan perempuan yang masih
gadis belia antara usia 14-16 tahun, dan masih perawan. Syarat ini tak boleh
dilanggar. Alasannya, jika seorang sintren tidak lagi perawan, bidadari yang
dipanggil dari kahyangan tidak akan turun ke dalam arena pertunjukan. Rohnya
tidak akan sudi merasuk ke diri seorang sintren. Pertunjukan sintren layaknya
permainan sulap, diiringi tetabuhan khas daerah pesisir, sintren diikat dengan
seutas tali, dari leher hingga kaki. Secara akal sehat, sang penari tak bisa
lagi bergerak, apalagi melepaskan tali itu dalam waktu yang sangat singkat.
Kemudian sintren dibaringkan di atas tikar dan dibungkus dengan tikar tersebut.
Selanjutnya sintren dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah ditutup kain,
setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Dalam prosesi ini, pawang
sintren membawa pedupaan, tempat kemenyan dibakar, serta membaca doa. Suasana
mistis mendadak muncul. Itulah saat bidadari sudah turun dari kahyangan, berada
di sisi penari sintren dan merasuk. Sinden berulang-ulang menembang, sebagai
berikut: “Gulung-gulung kasa/Ana sintren masih turu/Wong nontone buru-buru/Ana
sintren masih baru.” Tanpa bantuan orang lain, secara logika, tak mungkin sintren
bisa meloloskan diri dari ikatan tali dan berganti pakaian begitu cepat. Tapi,
ketika kurungan dibuka sintren telah berganti pakaian, dan tali pun sudah lepas
- ajaib memang. Kemudian sintren menari dengan monoton, lucunya sintren menari
menggunakan kacamata hitam. Para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari
sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka
sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari setelah
diberi jampi-jampi oleh pawang. Fenomena ajaib ini sampai sekarang belum bisa
dijelaskan secara ilmiah. Di kalangan masyarakat, gadis-gadis berlomba untuk
menjadi sintren. Menurut kepercayaan umum, gadis-gadis yang menjadi seintren
akan cepat mendapatkan jodoh. Bermain sintren tak selamanya memerlukan
panggung. Mereka dapat juga bermain di halaman rumah, meski beralas tikar
Sumber :
0 Komentar