Cerita mengenai Asal-usul Kesenian Sintren Pekalongan tak terlepaskan dari
kisah kasih asmara antara seorang gadis bernama sulasih dengan Raden Sulandono
putra dari Ki Bahurekso dan Dewi Rantamsari tidak direstui oleh kedua orang
tuanya. Kecewa dengan dengan kedua orang tuanya, Raden Sulandono memutuskan
untuk pergi menyepi dengan bertapa di suatu tempat sedangkan sulasih sedih
ditinggal pergi kekasinya tersebut akhirnya memilih menjadi seorang penari. Melihat
putranya pergi membawa kesedihan dan kekecewaanya dalam pertapaanya, secara
diam-diam Dewi Rantamsari, ibunda Raden Sulandono mengatur pertemuan kedua
sepasang kekasih yang telah terpisahkan tersebut dengan melalui pertemuan
ghaib.
Dengan menggunakan kesaktiannya, Sang Dewi Rantamsari memasukan roh
bidadari kedalam tubuh Sulasih yang sedang menari sementara pada saat yang sama
roh dari Raden Sulandono dipanggil pula untuk hadir menemui kekasihnya Sulasih
yang sudah terasuki roh bidadari. Dari kisah pertemuan ghaib antara roh raden
Sulandono dengan Sulasih yang sudah terasuki roh bidadari itulah masyarakat
pesisiran Pekalongan dan sekitarnya mengenal seni Sintren dan sejak saat itu
tarian sintren yang dibawakan oleh penari sintren akan terasuki roh bidadari.
Kendati ada banyak versi tentang legenda sintren, namun apapun versinya
kesenian sintren terlanjur legendaris bagi masyarakat yang tersebar di kawasan
pesisir pantura barat Jawa Tengah. Dan sekarang kesenian tersebut mulai
menggeliat kembali dan agaknya semangat untuk menghadirkan lagi kesenian
sintren oleh kelompok masyarakat pegiat seni sintren di Desa Bojong patut kita
apresiasi meskipun tidak mudah tapi sudah melakukan langkah awal untuk
mengakrabkan kembali nostalgia sintren di kalangan generasi sekarang. Bagi para
egiat seni sintren ini melakukanya karena alasan yang klise, menggunakan
kesenian sintren ini untuk mengamen yang hasilnya untuk menghidupi kru pelaku
kelompok seni sintren. Sungguh ironi memang, tapi itu masih lebih baik karena
negeri ini sudah tidak ramah bagi hidupnya seni rakyat. Negara hanya peduli
pelestarianya melalui diskusi-diskusi, buku-buku dan dokumentasi agar termuat
dalam arsip-arsip yang memenuhi khasanah ilmu serta memenuhi rak-rak
perpustakaan sekolah dan perpustakaan negara. Negara sudah lupa caranya
melestarikan kesenian tersebut secara langsung, melalui para pelaku seninya,
mengupayakan ke berlangsungan seni itu sendiri supaya tetap eksis dengan
memperbanyak ruang-ruang pembelajaran seni khas tersebut untuk tetap hidup.
Kesenian Sintren Pekalongan dikenal sebagai tarian dengan aroma
mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh
masyarakat dan memiliki dua versi.
1. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R.
Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama
Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak
direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan
ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu tangan”) sebagai
sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai.
Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih
desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan
purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada
saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun
dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian
ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari
sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu
tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih “trance/kemasukan roh
halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono
melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki
R. Sulandono, Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan
cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
2. Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu
(Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC
dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan
Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak
lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Pertunjukan berdasarkan waktu penyelenggaraanya, ada dua gaya sintren
yaitu:
a. Pertama, Sintren yang sengaja diselenggarakan bebas, tanpa terbatas
dengan wayah (waktu) waktu di sini biasanya berkaitan dengan musim, Sintren
jenis ini sering ditanggap diberbagai acara hajatan pernikahan, sunatan atau
sekedar penyambutan tamu dalam acara pemerintahan.
b. Kedua, Sintren yang penyelenggaraanya diadakan dalam waktu-waktu
tertentu, Sintren jenis ini biasanya diadakan pada saat kemarau panjang,
biasanya diadakan selama 35 sampai dengan 40 hari, Sintren jenis ini dipercaya
sebagai ritual pemanggil hujan. Sintren yang diselenggarakan bebas biasanya
diiringi dengan musik tarling dangdut sebagai musik pengiring. Pemainnya
jumlahnya sama seperti Sintren yang diadakan sebagai ritual untuk memanggil
hujan, hanya saja si pelaku utama Sintren tak hanya satu Sintren wanita saja
sebagai bendara (tuan perempuan), melainkan ditambahkan satu Sintren pria atau
yang biasa disebut lais, dan empat orang pemuda yang bertugas menghibur atau biasa
disebut bodor.
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain
dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar
untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil
diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian
lebih lincah dan mempesona.
Alat musik yang digunakan pada pertunjukan Sintren yaitu:
a. Waditra
b. Gendang
c. Gong
Nilai-nilai kearifan lokal pada kesenian Sintren ada tiga, yaitu
1. Nilai estetika, nilai religius dan nilai rasa hormat. Estetika kesenian
Sintren memiliki daya tarik yang kuat yaitu tentang keindahan gerak-gerak
penari yang ditarikan secara spontan dan seirama dengan iringan yang dimainkan.
Kesenian tradisional Sintren mengungkapkan nilai estetis yang terwujud melalui
keluwesan, kelembutan dan kelincahan seorang penari sintren. Nilai estetis
kesenian Sintren juga dapat dinikmati dari keharmonisan dan keselarasan antara
gerak dan iringan musik. Rasa hormat itu terlihat dengan masih bertahannya
kesenian sintren,
Kesenian Sintren masih diadakan untuk ritual meminta hujan ketika kemarau
panjang, ataupun hanya sekedar untuk hiburan pada saat pernikahan, khitanan,
dan lain-lain.
2. Religius dimana dapat dilihat dari awal sebelum pertunjukkan Sintren
dimulai, pawang Sintren membaca do’a dan mantra-mantra yang isinya tentang
meminta do’a kepada yang Maha Kuasa agar selama pertunjukkan Sintren berjalan
dengan selamat dan tidak ada halangan selama pertunjukan Sintren berlangsung.
3. Kesenian Sintren merupakan budaya lokal bangsa Indonesia. Kesenian
Sintren telah lama ada di Desa Sambong, kesenian yang diwariskan oleh nenek
moyang terdahulu harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya
jangan sampai kesenian Sintren hilang . Harus ada peran serta dari semua pihak
di dalam mewariskan budaya kesenian Sintren. Pemerintah memberikan fasilitas,
kesenian Sintren Jaya Mulya diikutkan perlombaan.
Sumber:
0 Komentar