Tari Sintren merupakan salah satu tarian
tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Tari Sintren tersebar di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti
di Cirebon, Majalengka, Indramayu, Brebes, Pemalang, Pekalongan dan Banyumas.
Tari
Sintren dari Segi bahasa atau Etimologi "Sintren"
merupakan gabungan dua suku kata "Si" dan "Tren".
Si dalam bahasa jawa berarti "ia" atau "dia"
dan tren berarti "putri". Sehingga Sintren
artinya Si Putri yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan ini.
Tari Sintren dikenal juga dengan nama lais. Selain gerak tarinya, tarian ini juga terkenal dengan unsur mistis di dalamnya karena adanya ritual khusus untuk pemangilan roh atau dewa.
Tari Sintren dikenal juga dengan nama lais. Selain gerak tarinya, tarian ini juga terkenal dengan unsur mistis di dalamnya karena adanya ritual khusus untuk pemangilan roh atau dewa.
Dalam
permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang roh Dewi Lanjar
untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar
berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih
cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Kurungan berukuran besar yang menyerupai kurungan ayam berbungkus kain, menjadi objek paling mencolok dalam pertunjukan kesenian tradisional Cirebon, Lais. Ditempatkan di tengah arena pertunjukan, 'kurungan ayam' itu dikelilingi 2-3 penari dan dilatari para pemain gamelan.
Di antara para penari itu, salah
satunya seorang laki-laki berpakaian seadanya diikat dengan tali. Seorang
pawang dengan dupa terbakar dan jampi-jampinya membuat pemuda itu lunglai tak
sadarkan diri. 'sang' Lais, figur utama dari keseluruhan pertunjukan. Sebagian
rekannya lalu membungkus Lais atau akrab disebut pula Dalang Lais, dalam tikar
anyaman, sebelum kemudian sosoknya menghilang dalam tikar. Dua penari
mengelilingi kurungan ayam seraya menaburkan potongan bunga.
kurungan dibuka, tampaklah perubahan
penampilan Lais. Kali ini, kedua matanya dilapisi kaca mata hitam dan ikat
kepala tradisional tersemat menutup kepalanya. Sebuah selendang panjang terikat
di pinggang Lais yang kini berpakaian layaknya penari. Tubuhnya masih tetap
lunglai. Sebagian penari dan pendamping membantunya berdiri tegak. Beberapa
detik kemudian,
tubuhnya mulai bergerak gemulai.
Lais menari diiringi lagu berlirik seperti ini:
"Turun turun lais
Laise widadari
Nemu kembang yun ayunan
Nemu kembang yun ayunan
Kembange Siti Maindra Widadari
temurunan"
Dalang Lais bergerak mengelilingi
penonton yang berkerumun. Tarian si penari akan terhenti setiap kali salah satu
penonton melempar uang mengenai bagian tubuhnya. Bukan hanya saja tariannya
berhenti, Lais justru pingsan setiap terkena lemparan uang berapapun nilainya.
"Uang itu mewakili godaan duniawi, di antaranya harta, tahta, dan wanita,
yang akan membelenggu manusia. Ketika godaan itu mengenai kita, kita akan
berada dalam kegelapan sehingga kita harus berupaya melepaskan diri dari
belenggu," papar seniman Cirebon, Waryo Sela.
Setiap
kali Lais pingsan, seorang pendamping akan langsung menghampiri dan mengasapi
wajahnya dengan bakaran dupa seraya berkomat-kamit. Entah karena apa, namun
jampi-jampi itu membangunkan Lais yang kemudian kembali menari, masih di alam
bawah sadarnya. Proses 'menidurkan' Lais dengan cara melemparinya uang maupun
membangunkannya kembali untuk menari, menjadi daya tarik Lais. Kesenian ini tak
ubahnya dengan Sintren.
"Bedanya,
Lais dimainkan penari laki-laki, sedangkan Sintren dimainkan penari perempuan.
Sisanya sih sama saja," ungkap Waryo. Baik Lais dan Sintren sama-sama
menghadirkan penari berkacamata hitam yang akan menari, konon, selama hilang
kesadarannya. Saat kehilangan kesadaran itulah, setiap gerakan dalang lais
maupun sintren diyakini dikuasai roh.
"Kesenian Lais dan Sintren diyakini berkembang di tengah masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Ini adalah permainan rakyat yang semula bertujuan mendatangkan roh, mirip-mirip Jaelangkung," tutur Waryo. Lais ataupun Sintren dimainkan di area terbuka. Dengan penonton yang melingkar, umumnya terjadi kontak langsung antara pemain dan penari (dalang lais atau sintren). Mengingat populer di kalangan rakyat, sejatinya.
"Kesenian Lais dan Sintren diyakini berkembang di tengah masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Ini adalah permainan rakyat yang semula bertujuan mendatangkan roh, mirip-mirip Jaelangkung," tutur Waryo. Lais ataupun Sintren dimainkan di area terbuka. Dengan penonton yang melingkar, umumnya terjadi kontak langsung antara pemain dan penari (dalang lais atau sintren). Mengingat populer di kalangan rakyat, sejatinya.
Lais
ataupun Sintren dimainkan dengan alat musik sederhana, seperti bumbung, buyung,
maupun kecrek. Kini, penyajian kesenian tersebut dimodifikasi dengan alat-alat
musik lain, semisal tambahan perkusi tertentu hingga permainan gamelan.
Sayangnya, Lais maupun Sintren menjadi salah satu kesenian khas Cirebon yang
terkategori nyaris punah. Meski begitu, nasib Sintren tak seburuk Lais. Pamor
Sintren masih berada di atas Lais.
A. Latar belakang Tari Sintren
Menurut
sejarahnya, tarian ini berawal dari percintaan Raden Sulandono dan Sulasih
yang tidak mendapat restu dari orang tua Raden Sulandono. Raden
Sulandono adalah putra Ki Bahurekso hasil perkawinannya dengan Dewi
Rantamsari. Raden
Sulandono memadu
kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan
asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso.
Sehingga
Raden Sulandono di perintahkan oleh ibunya untuk bertapa dan diberikan
selembar kain sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah
pertapaannya selesai. Sedangkan
Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari di setiap acara bersih desa
yang di adakan sebagai syarat untuk bertemu Raden Sulandono. Saat
pertunjukan rakyat yang diadakan untuk memeriahkan bersih desa, pada saat
itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan. Malam
itu saat bulan purnama, Raden Sulandono pun turun dari pertapaannya
dengan cara bersembunyi sambil membawa kain yang diberikan oleh ibunya. Pada
saat Sulasih menari, dia pun di rasuki kekuatan Dewi Rantamsari sehingga
mengalami trance. Melihat
seperti itu Raden Sulandono pun melemparkan kain tersebut sehingga Sulasih
pingsan. Dengan
kekuatan yang di miliki oleh Raden Sulandono, maka Sulasih dapat
dibawa kabur dan keduanya mewujudkan cita – citanya untuk bersatu dalam cinta. Sejak
saat itulah sebutan Sintren muncul sebagai cikal
bakal dari Tari Sintren ini.
B. Syarat dan Perlengkapan Tari Sintren
- Untuk menjadi penari Sintren ada beberapa syarat yang harus di miliki calon penari, terutama sebagai penari Sintren harus masih gadis atau masih perawan karena penari Sintren harus dalam keadaan suci.
- Selain itu para penari Sintren di wajibkan berpuasa terlebih dahulu, agar tubuh si penari tetap dalam keadaan suci dan menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga dapat menyulitkan bagi roh ataun dewa yang akan masuk dalam tubuhnya.
- Dalam pertunjukannya, Busana yang di gunakan oleh penari Sintren adalah baju golek, yaitu baju tanpa lengan yang biasa digunakan dalam tari golek. Pada bagian bawah biasanya menggunakan kain jarit dan celana cinde.
-
Untuk bagian kepala biasanya menggunakan jamang, yaitu hiasan untaian bunga melati disamping kanan dan koncer di bagian kiri telinga. Aksesoris yang di gunakan biasanya adalahsabuk, sampur, dan kaos kaki hitam/putih.
- Selain itu yang juga sebagai ciri khas dari penari Sintren adalah kaca mata hitam yang berfungsi sebagi penutup mata. Karena penari Sintren selalu memejamkan mata saat keadaan trance atau kesurupan, selain itu juga sebagai mempercantik penampilan.
- Dalam pertunjukan Tari Sintren juga di iringi oleh alat musik seperti Gending, dan diiringi dengan lagu Jawa. Namun, pada saat ini alat musik yang digunakan adalah alat musik modern seperti orkes.
sumber : http://meandyouculture.blogspot.com/2017/03/tari-sintren-tari-tradisional-jawa.html
https://www.ayobandung.com/read/2019/08/06/59800/lais-kesenian-magis-cirebon-yang-nyaris-punah
0 Komentar