Makna Simbolik dan Konsep Ajaran yang Terkandung dalam Sintren



Setiap daerah di Indonesia khususnya Jawa Tengah memiliki kesenian tradisional yang berbeda-beda. Kesenian tradisional tersebut mempunyai ciri kedaerahan atau kekhasan masing-masing. Di Pekalongan misalnya, salah satu kabupaten di Jawa Tengah ini terkenal dengan kesenian tradisional berupa tari Sintren.
Sintren berasal dari kata “sin” yang berarti bentuk dan “tren” yang berarti benda. Tari ini dimainkan oleh beberapa gadis yang masih suci/perawan. Seorang pawang bertugas menjaga penari serta menjadi perantara masuknya roh dalam raga penari tersebut. Sintren dimainkan dengan diiringi tabuhan gending serta beberapa penari pendamping. Tarian yang kental akan unsur mistis ini bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Namun Raden Sulandono yang merupakan putra dari Jaka Bahu atau Ki Bahurekso akhirnya menikah dengan Dewi Rantamsari.
Makna simbolik pada gerak tari Sintren ada beberapa, yang pertama adalah konsep ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini secara simbolik ditunjukkan pada saat :
1. Gerak “sembahan duduk”
Gerakan ini memiliki makna rendah diri karena Tuhan adalah Zat yang paling tinggi, selain itu diharapkan pertunjukan tari Sintren yang akan dipentaskan dapat berjalan dengan lancar dan membawa berkah bagi seluruh warga dan penonton.
2. Gerak “sembahan berdiri”
Yang memiliki simbol penghormatan kepada roh-roh leluhur dan penghormatan kepada para penonton.
3. Gerak “kaki Jengkeng tangan diukel
Gerakan tersebut mempunyai makna simbolik seperti orang yang sedang menanam padi di sawah, juga gerakan mengibaskan tangan yang memiliki makna simbolik sebagai gerakan orang menampi beras.
4. Gerak “berjingkat dan goyang pinggul”
Menyimbolkan rasa gembira seorang anak yang sedang bermain yang diekspresikan lewat gerakan. Saat atraksi pesintren menaiki kurungan menyimbolkan bahwa keberadaan bidadari di langit membantu pesintren melakukan tarian.
5. Gerak “sembahan penutup”
Memiliki simbol permohonan maaf manakala dalam pertunjukkan tari Sintren terdapat kekurangan.
Musik pengiring dalam pementasan antara lain : bonang, rebana, saron, kendang, dan gong. Sementara lagu yang ditembangkan dengan iringan musik pengiring adalah Suwe ora Jamu dan Turun Sinten. Kedua lagu ini merupakan mantra yang digunakan dalam kesenian tari Sintren. Tim pemusik harus mengikuti irama lagu dengan benar, karena kesalahan nada yang dimainkan akan mengakibatkan gagalnya pementasan.
Kostum yang digunakan oleh pemain perempuan adalah kebaya dan atasan batik. Sementara bagi anggota Sintren yang berjenis kelamin laki-laki memakai surjan atau lurik lengkap dengan penutup kepala yang disebut blangkon. Untuk pakaian bawahan, penari dan pesintren menggunakan rok dan juga memakai kain sampur (selendang), sementara untuk laki-laki hanya menggunakan celana panjang berwarna hitam.
Aksesoris yang diperlukan pesintren selain kaos kaki warna kulit juga kacamata hitam dan hiasan bunga melati di atas kepala. Perlengkapan yang bersifat wajib adalah kurungan serta tali tambangyang digunakan untuk mengikat tangan pesintren saat tidak sadarkan diri.
Konsep Ajaran yang Terkandung dalam Tari Sintren
1. Ajaran tentang Alam Semesta
Tarian Sintren memiliki konsep ajaran alam semesta. Ajaran tersebut disimbolkan melalui perlengkapan pementasan dan sesaji. Dalam perlengkapan, ditunjukkan pada penggunaan bambu sebagai bahan utama pembuatan kurungan serta makanan yang disajikan untuk penonton berupa hasil bumi seperti singkong rebus, ketela rebus, kacangkacangan dan lain-lain. Sedangkan dalam sesaji ditunjukkan pada tumpeng, kopi pahit, air putih, rokok, kemenyan, dan kembang setaman. Semua simbol-simbol tersebut dikumpulkan dengan tujuan agar bisa mensucikan asma (nama) Tuhan dari diri manusia.
2. Ajaran tentang Manusia
Ajaran tentang manusia yang ingin disampaikan dalam tari Sintren adalah ajaran penghapusan “Pancamakara” atau Mo-Limo , yang ada dalam aliran kepercayaan Tantrayana. Tantrayana sendiri muncul dan berkembang pada masa keemasan Majapahit, dimana terjadi sinkretisme antara Hindu-Buddha disebut dengan Siwa-Buddha Tatwa.
Latar belakang munculnya fenomena tersebut adalah adanya kebijakan politik dari raja Hayam Wuruk yang menganut dua sistem religi ini. Selain itu ada faktor lain yang jauh lebih penting yakni korelasi spiritualitas Tantra. Konsep dasar dari Tantra, yakni lebih menekankan harmoni dan juga peribadahan melalui meditasi mantra serta mistisisme, dengan menempatkan manusia sebagai wadah suci untuk mencapai pencerahan.
Ajaran Tantra lebih berfokus pada pemujaan terhadap Shakti (aspek feminim dari dewa, terutama dewa Siwa). Praktiknya menekankan pada keutuhan yang dicapai dalam aspek feminim dan maskulin dalam simbol Shiva dan Shakti. Salah satu contoh teknik dari Tantra adalah Panca Makara, atau disiplin meditasi dan konsumsi seperti; madira (anggur), matsya (ikan), mamsa (daging), mudra (gerakan tangan) , dan maithuna (hubungan seksual).
Disinilah peran daripada tari Sintren, yakni menghapuskan ajaran yang dianggap melenceng jauh dari konsep ajaran setelah Hindu-Buddha, yakni Islam, yang semula berpusat di Jawa Timur kini telah sampai ke Doro, karena sebagian masyarakat sudah tidak lagi bisa menerima praktik Panca Makara, maka muncullah tari Sintren. Ditinjau dari makna atau arti, kata “Sin” berarti bentuk, dan “Tren” yang berarti benda, sehingga Sintren dapat ditafsirkan sebagai tindakan meninggalkan atau menghentikan segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Tari Sintren apabila dirunut dari cerita lisan yang tersebar secara turun temurun, pertama kali muncul akibat Sulandono dan Sulasih yang hubungannya tidak direstui ayah dari Sulandono yaitu Jaka Bahu atau Bahurekso, yang merupakan anak dari Ki Ageng Cempaluk tangan kanan dari Raja Mataram Islam. Sehingga muncul bentuk penanaman paham baru dengan memadukan atau menyisipkan kebudayaan lokal dengan dasar ajaran Islam guna menggantikan kebudayaan sebelumnya tanpa adanya konflik, semacam mendapatkan kekuasaan secara de facto tanpa adanya represi.
3. Ajaran tentang Budi Luhur
    Berikut adalah beberapa makna ajaran yang berkaitan dengan sikap budi luhur :
a. Seorang perempuan harus bisa menjaga kehormatan dan kesuciannya. Ia juga tidak boleh  mencintai lawan jenis secara berlebihan serta tidak sembarangan menyerahkan dirinya kepada laki-laki. Perempuan harus bisa menjunjung tinggi nama baik dan kehormatan  keluarganya, jujur dalam segala perbuatan yang dilakukan dan perkataan yang diucapkan.
b. Ajaran luhur mengenai bela tanah air, didalam tari Sintren terdapat properti berupa    “kacamata” hitam, yang diibaratkan sebagai orang yang buta . Sintren yang terbelenggu  menggambarkan bangsa Indonesia yang waktu itu terbelenggu oleh penjajah. Setelah menyaksikan pementasan tari Sintren diharapkan penonton memiliki semangat juang untuk  melepaskan diri dari belenggu penjajah. Selain itu ikatan tali yang mengikat tangan pesintren sesaat sebelum dimasukkan dalam kurungan kemudian keluar dengan ikatan yang sudah terlepas memberikan gambaran filosofis bahwa setiap belenggu yang mengikat kebebasan gerak manusia mesti dilenyapkan dari bumi yang merdeka agar tidak ada lagi bentuk penjajahan di muka bumi.
c. Puasa mutih yang dilakukan pesintren memiliki makna ajaran yang berupa tugas dan kewajiban manusia terhadap Tuhannya.
d. Sesaji berupa kembang setaman dan makanan yang disajikan untuk penonton yang berasal dari hasil bumi memiliki makna ajaran berupa kewajiban manusia kepada alam.


Sumber :

0 Komentar