TARI SINTREN
Seperti halnya seni
pertunjukan rakyat yang sarat dengan unsur-unsur magis seperti: Debus, Genjring
Akrobat dan lain-lain, kesenian yang bernama Sintren memiliki daya tarik
tersendiri. Yang menjadi keistimewaan kesenian ini adalah terjadinya peristiwa
kesurupan (trance) pada penarinya. Dalam sintren (penari) demikian masyarakat
Cirebon menyebutnya, selama dalam pertunjukan. Menari dalam keadaan trance
inilah yang menjadi ciri khas seni pertunjukan Sintren.
Selain Sintren, di
Cirebon dikenal pula kesenian sejenis yang disebut Lais. Perbedaannya terletak
pada pelaku utama (penari), yakni pelaku Sintren adalah seorang gadis
(perempuan) sedang Lais tariannya oleh seoarang jejaka (pria). Namun kedua
jenis seni pertunjukan milik masyarakat Cirebon ini bila dilihat dari frekuensi
pertunjukanya lebih eksis Sintren ketimbang Lais.
Keunikan sintren yang
muncul dari kekuatan magis menjadi daya tarik yang luar biasa, sehingga tak
heran apabila kesenian macam sintren banyak terdapat di berbagai daerah sebagai
tontonan yang cukup banyak digemari. Sintren pernah menyebar luas hampir disepanjang
daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. Tumbuh subur khususnya di wilayah
Cirebon, Indramayu, kemudian meluas ke daerah Kuningan dan Majalengka. Dan saat
ini tumbuh pula di daerah Serang, Banten, yang sisebut Gacle, bahkan di daerah
Jawa Tengah seperti di Pemalang dan Pekalongan.
Berkaitan dengan
Sintren, ada pendapat yang berkembang di masyarakat Cirebon bahwa, Sintren
berasal dari kata Sintiran atau Santrian yaitu sejenis permainan rakyat yang
mengandung unsur-unsur magis. Sementara itu Lais berasal dari kata Las atau Lis
yaitu permainan akrobat, menari diatas seutas tali/tambang yang direntangkan
seperti Genjring Akrobat. Namun lepas dari semua persoalan tersebut, yang jelas
seni pertunjukan Sintren yang diperkirakan lahir sebelum Islam masuk ke
Cirebon, sampai saat ini masih banyak ditunggu-tunggu kemunculannya oleh
masyarakat penggemarnya.
A. Jalannya
Pertunjukan
Dalam sebuah
kelompok/grup sintren, biasanya didukung oleh sekurang-kurang 15 sampai 25
orang personil, yang terdiri dari sintren (penari), pawing atau puduh, pelawak,
music/nagaya, pesinden, penari latar, dan beberapa orang pembantu saat proses
pertunjukan sedang berjalan.
Pertunjukan sintren
tidak pernah mengenal tempat yang khusus, ia bisa digelar/dilakukan di mana
saja, di panggung, di pekarangan rumah, atau di tanah lapang. Arena permainan
tari berada di depan yang sebelumnya telah dipasang lampu tradisional semacam
obor bercabang dua terbuat dari bambu yang oleh masyarakat Cirebon disebut
“Damar Jodog” dan kurungan ayam (ranggap) yang telah ditutup rapat oleh kain.
Sementara dibelaknag arena permainan duduk 4-5 orang pesinden pelantun
lagu-lagu, diusul para pemain musik/nayaga, penari latar, pelawak dan personil
lainnya.
Setelah segala
sesuatunya dipersiapkan, seorang tetua atau pawang yang bertanggung jawab atas
seluruh pertunjukan, segera membakar kemenyan sambil membacakan mantra-mantra.
Sejalan dengan mengepulnya asap kemenyan yang membumbung memenuhi ruang
permainan, perlahan-lahan musik mengalun mengiringi langkah penari yang akan
menjadi sintren, disini pesinden melantunkan lagu Solasih :
Solasih-solasih
soliandana
Ana menyan ngundang
dewa
Ana dewa saking sukma
Widadari temurunan
Simbarpati
Aja lawas ning konjara
Lama tua, kayu dadap
Pipis
kunir
Sangkan ana mun dadi
aja kesue
Proses selanjutnya,
setelah calon Sintren berada di dekat pawang, tangan dan tubuh mulai dari leher
sampai ke ujung ibu jari calon Sintren diikat dengan tali/tambang. Dalam
keadaan terikat calon Sintren belum berpakaian tari, kemudian dengan dibungkus
sehelai tikar atau kain putih dimasukkan ke dalam kurungan bersama busana tari
yang sebelumnya telah dilipat terpisah dari ikatan Sintren.
Alunan musik yang
ditimbulkan dari bunyi instrumen musik yang terbuat dari potongan ruas-ruas
bambu dan buyung (tempayan) gerabah, mengalir mengiringi munculnya para penari
latar mengelilingi kurungan dan pawang yang sedang membacakan mantra sambil
meniup-niupkan asap kemenyan ke sekeliling kurungan yang didalamnya telah
berisi calon Sintren. Sementara para pesinden tak henti-hentinya menyanyikan
lagu Turun Sintren:
Turun-turun Sintren
Sintrene Widadari
Nemu kembang yun
ayunan
Nemu kembang yun
ayunan
Kembange Siti Maidra
Bidadari temurunan
Sesaat kemudian
kurungan nampak bergoyang perlahan, empat penari latar mundur ke belakang,
kemudian pawang dengan sangat hati-hati membuka kurungan dan tampaklah Sintren
telah berpakaian tari lengkap, seperti memakai Siger, Mahkota, dan Kacamata
hitam. Namun lilitan tambang yang mengikat tubuhnya belum terlepas, masih seperti
pada saat sebelum dimasukkan ke dalam kurungan. Maka, sang pawang memasukkannya
kembali sambil memutar-mutarkan pedupaan dengan kepulan asap di atas kurungan,
dan saat kurungan kembali dibuka, tali pengikat telah terlepas.
Adegan selanjutnya
adalah adegan Sintren menari. Dibarengi empat orang penari latar yang bergerak
disebelah belakang, Sintren menari dengan gerakan yang sangat sederhana dan
monoton mengelilingi arena permainan. Hal ini dapat dipahami, sebab selain ia
menari dalam keadaan kesurupan juga bagi kesenian rakyat semacam Sintren,
suksesnya sebuah pertunjukan bukan hanya bermakna dalam arti estetika tetapi
juga spiritual.
Dalam adegan ini,
masyarakat penonton yang merasa puas terhibur biasanya melakukan saweran
(nyawer) dengan cara melemparkan uang ke arena permainan. Bila lemparan itu
mengenai tubuh Sintren, Si Sintren akan terjatuh ke belakang, tak sadarkan diri
(Pingsan). Pada saat pawing mengurusi sintren agar dapat melanjutkan kembali
permainannya, para pelawak beraksi sambil memunguti uang saweran. Peristiwa
jatuhnya Sintren ternyata membangkitkan rasa kepenasaran penonton yang hadir
untuk melakukan hal yang sama. Tak pelak lagi, begitu Sintren kembali menari
penonton dari berbagai penjuru berebut melemparkan uang ke tubuh Sintren. Dapat
diduga, selama dalam pertunjuka penari Sintren bisa terjatuh berulang-ulang
terus hingga pertunjukan selesai setelah sebelumnya disadarkan kembali oleh
Pawang.
B. Proses
Menjadi Sintren
Seperti telah
disebutkan di atas, sintren merupakan tarian dalam keadaan trance.
Tarian ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, sebab tari sintren harus
dilakukan oleh seorang gadis yang menjelang akil balig, dalam arti
gadis tersebut benar-benar dalam keadaan suci alias perawan tingting yang belum
mengalami menstruasi.
Untuk menjadi seorang
Sintren, sebelumnya siapapun peminatnya diwajibkan menempuh beberapa tahapan
laku spiritual. Hal ini merupakan persyaratan yang mutlak harus ditempuh sampai
benar-benar dinyatakan “lulus” oleh tokoh spiritual yang membimbingnya. Calon
sintren harus sanggup melakukan puasa/tirakat Senin Kamis selama 40 hari, juga
diwajibkan mandi kembang dan keramas pada malam Jum’at di sumur-sumur keramat
sebanyak 40 kali pula. Jika persyaratan itu mampu dijalankan seluruhnya dengan
baik, sungguh-sungguh dan ikhlas, sesuai dengan kepercayaan mereka, pertunjukan
akan berjalan dengan lancar dan sukses.
Seorang calon sintren
yang akan dinyatakan lulus dalam arti mampu melakukan puasa/tirakat dan
berbagai pantangan lainnya, dipastikan dapat berganti pakaian dengan busana
tari lengkap dalam kurungan tertutup hanya dalam waktu yang relative singkat,
yakni hanya dalam tempo 3-4 menit. Tetapi sebaliknya jika
persyaratan-persyaratan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, si sintren
akan mengalami kegagalan dalam berganti busana. Bahkan tidak hanya kelengkapan
tekhnis dan spiritual, kekurangan kelengkapan sesajen pun dapat mengakibatkan
gagalnya pertunjukan. Adapun sesajen yang diperlukan dalam pertunjukan sintren
adalah:
1. Juadah
(jajan) pasar, terdiri dari 7 macam penganan dan 7 jenis buah-buahan
2. Kembang
(bunga) 7 warna
3. Rokok
dan cerutu
4. Minuman
berupa air putih, teh dan kopi
5. Tumpeng
kecil sebanyak 7 buah
6. Kapur
sirih lengkap untuk menginang
7. Gula
batu
8. Kelapa
muda (dugan) berkulit hijau.
Pemaknaan sesajen ini
bukanlah makanan dan minuman roh-roh, melainkan berfungsi sebagai
lambang-lambang medium yang berfungsi sebagai penghubung antara dunia manusia
dengan dunia roh-roh. Inilah sebabnya dalam sesajen juga sering terdapat
alat-alat kecantikan seperti: bedak, sisir, lipstick, dan cermin. Itu adalah
lambing-lambang alamat roh-roh yang diundang, yakni para bidadari, atau azas
perempuan dunia atas.
TOPENG CIREBON
Tari topeng merupakan
salah satu jenis seni pertunjukan yang telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Di Pulau Jawa, topeng tumbuh dan berkembang di pelosok-pelosok Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (termasuk Madura), Jogjakarta, dan DKI Jakarta.
Topeng mencapai bentuknya sebagai sebuah seni pertunjukan pada jaman raja-raja
Hindu di Jawa diperkirakan pada abad ke 10-11 Masehi.
Pada awalnya tari
topeng tidak hanya memiliki arti sebagi sebuah tontonan atau hiburan, tetapi
lebih dari itu memiliki arti keagamaan. Seperti juga yang diungkapkan Erika
Bourguignon, bahwa topeng (kedok) pada mulanya digunanakan untuk menyembunyikan
identitas asli pemakainya. Topeng juga sering ditampilkan pada upacara
inisiasi, anak-anak yang menjelang dewasa dibuat percaya bahwa roh-roh leluhur
dalam wujud orang-orang bertopeng benar-benar datang,
turun ke bumi menemui mereka. Bahkan hingga saat ini, bagi masyarakat tertentu
masih menganut kepercayaan Indonesia asli, tari topeng dijadikan media dalam
upacara adat ngunjung, yakni upacara menghormati arwah nenek moyang, upacara
tersebut bagi masyarakat Cirebon mengandung arti untuk mengundang arti untuk
memohon berkah dari buyut-buuut atau leluhur dimakam mereka yang dikeramatkan.
Menurut tradisi Jawa,
tari topeng diciptakan oleh Sunan Kalijaga putra bupati Tuban, Jawa Timur.
Topeng kemudian dijadikan kesenian yang dipelihara oleh kaum bangsawan di dalam
istana (keratin). Namun demikaian pada saat pusat pemerintahan pindah dari Jawa
Timur ke Jawa Tengah dan para raja-raja memeluk agama Islam, seni topeng
ditinggalkan dan berkembang dilingkungan masyarakat jelata yang belum
sepenuhnya melepaskan kepercayaan asli mereka. Kemudian pada saat Cirebon,
Syekh Arif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama-sama dengan Sunan Kalijaga
dan putranya Pangeran Panggung, mengangkat kembali seni topeng dan wayang
kulit, yang saat itu digemari oleh masyarakat, dijadikan sebagai media
penerangan dalam penyebaran agama islam di Pulau Jawa.
Pada prakteknya, sunan
kalijaga dan sunan gunung jati mempergelarkan topeng dengan penari seorang
pria, yakni dalang wayang kulit. Pertunjukan topeng dengan penari seorang pria,
yakni dalang wayang kulit. Pertunjukannya itu sendiri dalam satu hari satu
malam diisi dua materi pertunjukan, yakni topeng dan wayang kulit. Pertunjukan
topeng dilakukan pada siang hari, baru kemudian pada malam harinya
dipertunjukan wayang kulit. Jadi si dalang ini berprofesi ganda, siang hari
jadi penari topeng dan malam harinya bertindak sebagai wayang kulit.
Dalam perkembangan
selanjutnya, dikarena pertunjukan topeng semakin digemari masyarakat, maka
penarinya pun kini tidak dilakukan lagi oleh hanya seoarang laki-laki yang juga
berprofesi sebagai dalang wayang kulit, tetapi telah banyak dilakukan pula oleh
kaum wanita. Bahkan dewasa ini Nampak lebih banyak penari (dalang) topeng
perempuan ketimbang laki-laki.
Satu hal yang menarik,
bahwa para dalang topeng dan wayang kulit di Cirebon menganggap dirinya sebagi
keturunan Sunan (Pangeran) Panggung, putra Sunan Kalijaga yang tidak hanya
begitu besar menaruh perhatian pada topeng tetapi ia juga adalah
seorang seniman. Tak heran jika pada saat para tokoh/dalang topeng mengadakan
pergelaran, sebelum menari, mereka terlebih dahulu duduk menghadap kotak kayu
berukuran tidak kurang satu meter persegi yang diletakkan di tengah-tengah
arena di depan para nayaga (pemusik), membelakangi penonton. Di sanalah merak
berkonsentrasi membacakan mantar-mantra yang ditujukan kepada pangeran
panggung. Dengan cara seperti ini mereka percaya bahwa dalam pertunjukan topeng
yang akan dilakukannya akan terhindar dari marabahaya dan sekaligus dapat
menari dengan bagus.
Topeng Cirebon, bila
dilihat dari cara penyajian memiliki beberapa versi dan gaya sesuai di mana
tempat kesenian itu berkembang. Sekalipun namanya tetap tari topeng Cirebon,
tetapi satu sama lain memiliki cirri-ciri yang berbeda. Oleh karena itu hingga
saat ini di kenal dengan topeng gaya Slangit, gaya Ciliwung, gaya Palimanan,
dan gaya Losari. Sepintas ketiga gaya topeng Cirebon itu Nampak sama tetapi
bila di cermati lebih seksama, terutama gerakan-gerakan tarinya, dan
masing-masing gayanya Nampak ada perbedaan. Yang paling Nampak gaya Losari,
dimana gerakannya terdapat gerakan melenting ke belakang, seperti
orang yang akan melakukan gerakan ‘breuh’.
A. Bentuk
Pertunjukan
Pada dasarnya topeng
Cirebon dapat ditarikan atau dibawakan oleh beberapa orang, tetapi intinya
adalah pertunjukan tunggal, dimana dalang (penari) topeng mengenakan beberapa
kedok (topeng) bergantian.
Sebagai sebuah pertunjukan
teatrikal, topeng sukar di kelompokkan. Akan tetapi berdasarkan cerita
Indonesia asli tentang Panji, topeng bukanlah suatu tarian drama, tapi juga
bukanlah kesenian yang abstrak karena terdapat karakter-karakter berbeda yang
ditampilkan. Mungkin topeng lebih dapat dikategorikan sebagai rangkaian potret
dalam gerak.
Seperti halnya bentuk
tarian jawa dan sunda, gerakan topeng Cirebon tidak hanya dinilai karena
keindahan bentunya, tetapi juga tidak terlepas dari ekspresi kepribadiannya.
Karakter-karakter yang berbeda dan tahapan-tahapan kehidupan digamabarkan dalam
tarian ini, seperti: kekanak-kanakan, dewasa, senang bermain dan kesederahanaa,
keluguan serta kemarahan. Karakter-karakter itu adalah:
1. Panji
Panji adalah tarian
awal dengan mengenakan kedok berwarna putih. Gerakan tariannya sangat halus,
lembut, kontras dengan iringan musiknya yang riuh rendah berirama cepat. Tarian
ini merupakan gambaran kesucian hati seorang manusia. Gerakan tariannya nyaris
tak pernah mengangkat kaki, hanya tangan yang Nampak bergerak perlahan-lahan.
2. Pamindo
Pamindo mengandung
arti minodo atau mindua. Tarian ini menggunakan kedok berwarna yang sama dengan
Panji, putih, tetapi gerakannya lebih lincah dan sigap, suka tertawa dan
bermain-main. Topeng pamindo adalah gambaran seoarang remaja yang sedang
mencari jati diri dan mencari pengalaman hidup.
3. Rumyang
Karakter ketiga adalah
Rumyang, dengan kedoknya berwarna merah muda sebagai gambaran seseorang yang
telah cukup dewasa dengan watak periang dan ganjen (genit). Dalam tarian
Rumyang, sesekali pelaku bodor dapat memotong tarian. Dengan gaya humornya ia
melontarkan kritikan, dan ketika dalang topeng menantangnya untuk menari yang
lebih bagus, dengan seenaknya bodor mengenakkan topeng (kedok) yang salah,
memparodikan tariannya.
4. Tumenggung
Topeng Tumenggung
menggunakan kedok berwarna merah gelap kecoklatan, dengan hidung panjang mata
bulat dan gerakan tariannya kuat dan tegas. Tarian ini menggambrakan
kepribadian yang bertanggung jawab, rasional dan dewasa. Dia adalah
satu-satunya karakter yang mempunyai cerita/lakon, yaitu seorang panglima
kepercayaan raja yang diutus untuk menghentikan pemberontakan Jinggananom. Oleh
karena itu adegan tumenggung selalu diiringi perang dengan jinggananom yang
mengenakan kedok bodor lucu.
5. Klana
atau Rahwana
Kedoknya berwarna
merah, menggambarkan sifat angkara murka, kasar, tamak, dan tidak dapat
mengendalikan diri. Karakter ini adalah karakter yang tidak ideal bagi manusia.
Tarian Klana ini memiliki gerakan yang lebih energik dan menarik dari
topeng-topeng yang lainnya. Juga tarian ini merupakan tarian yang paling
popular dimana para dalang yang menarikannya sering mendapat saweran dari
penontonnya.
Topeng Cirebon adalah
simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba
dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia,
dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan
Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena
ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Sintren adalah sebuah
tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta Sulasih dan
Sulandono. Tersebut dalam kisah bahwa Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil
perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan
Sulasih, seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut
tidak mendapat restu dari Ki Baurekso. Akhirnya R.Sulandono pergi bertapa dan
Sulasih memilih menjadi penari.
Sumber:
0 Komentar